Telah berlalu Ramadhan, kini sudah Syawal. Puasa 6 tak habis lagi. erk. Jom buat..
Bulan yang penuh berkah telah berlalu. Bulan yang akan menjadi saksi yang akan membela setiap orang yang bersungguh-sungguh dalam mengerjakan ketaatan kepada Allah atau justru menjadi saksi yang akan menghujat setiap orang yang memandang remeh bulan Ramadlan.
Kat sini saya c/p bacaan yg boleh dimanfaatkan sama2 ye,,
Oleh karena itu, hendaknya diri kita masing-masing membuka pintu muhasabah terhadap diri kita. Amalan apakah yang kita kerjakan di bulan tersebut? Apakah faedah dan buah yang kita petik pada bulan Ramadlan tersebut? Apakah pengaruh bulan Ramadlan tersebut terhadap jiwa, akhlak dan perilaku kita?
Kondisi Salafush Shalih Selepas Ramadlan
Pertanyaan yang teramat mendesak untuk dijawab oleh diri kita masing-masing adalah, ”Setelah Ramadlan berlalu, sudahkah kita menunaikan berbagai sebab yang akan mempermudah amalan kita di bulan Ramadlan diterima di sisi-Nya dan sudahkah kita bertekad untuk terus melanjutkan berbagai amalan ibadah yang telah kita galakkan di bulan Ramadlan?”
Tidakkah kita meneladani generasi sahabat (salafush shalih), dimana hati mereka merasa sedih seiring berlalunya Ramadlan. Mereka merasa sedih karena khawatir bahwa amalan yang telah mereka kerjakan di bulan Ramadlan tidak diterima oleh Allah ta’ala. Sebagian ulama salaf mengatakan,
كَانُوا يَدْعُوْنَ اللهَ سِتَّةَ أَشْهُرٍ أَنْ يَبْلُغَهُمْ شَهْرَ رَمَضَانَ ثُمَّ يَدْعُوْنَ اللهَ سِتَّةَ أَشْهُرٍ أَنْ يَتَقَبَّلَهُ مِنْهُمْ
”Mereka (para sahabat) berdo’a kepada Allah selama 6 bulan agar mereka dapat menjumpai bulan Ramadlan. Kemudian mereka pun berdo’a selama 6 bulan agar amalan yang telah mereka kerjakan diterima oleh-Nya.” (Lathaaiful Ma’arif hal. 232).
Oleh karena itu, para salafush shalih senantiasa berkonsentrasi dalam menyempurnakan dan menekuni amalan yang mereka kerjakan kemudian setelah itu mereka memfokuskan perhatian agar amalan mereka diterima karena khawatir amalan tersebut ditolak.
’Ali bin Abi Thalib radliallahu ‘anhu mengatakan,
كُوْنُوْا لِقَبُوْلِ اْلعَمَلِ أَشَدَّ اهْتِمَامًا مِنْكُمْ بِاْلعَمَلِ أَلَمْ تَسْمَعُوْا اللهَ عَزَّ وَ جَلَّ يَقُوْلُ : ]إِنَّمَا يَتَقَبَلُ اللهُ مِنَ اْلمُتَّقِيْنَ[
”Hendaklah kalian lebih memperhatikan bagaimana agar amalan kalian diterima daripada hanya sekedar beramal. Tidakkah kalian menyimak firman Allah ’azza wa jalla, [إِنَّمَا يَتَقَبَلُ اللهُ مِنَ اْلمُتَّقِيْنَ] “Sesungguhnya Allah hanya menerima (amalan) dari orang-orang yang bertakwa.” (Al Maaidah: 27).” (Lathaaiful Ma’arif: 232).
Demikianlah sifat yang tertanam dalam diri mereka. Mereka bukanlah kaum yang merasa puas dengan amalan yang telah dikerjakan. Mereka tidaklah termasuk ke dalam golongan yang tertipu akan berbagai amalan yang telah dilakukan. Akan tetapi mereka adalah kaum yang senantiasa merasa khawatir dan takut bahwa amalan yang telah mereka kerjakan justru akan ditolak oleh Allah ta’ala karena adanya kekurangan. Demikianlah sifat seorang mukmin yang mukhlis dalam beribadah kepada Rabb-nya. Allah ta’ala telah menyebutkan karakteristik ini dalam firman-Nya,
وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَى رَبِّهِمْ رَاجِعُونَ (٦٠)
”Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Rabb mereka.” (Al Mukminun: 60).
Ummul Mukminin, ’Aisyah radliallahu ‘anha ketika mendengar ayat ini, beliau merasa heran dikarenakan tabiat asli manusia ketika telah mengerjakan suatu amal shalih, jiwanya akan merasa senang. Namun dalam ayat ini Allah ta’ala memberitakan suatu kaum yang melakukan amalan shalih, akan tetapi hati mereka justru merasa takut. Maka beliau pun bertanya kepada kekasihnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
أَهُمُ الَّذِينَ يَشْرَبُونَ الْخَمْرَ وَيَسْرِقُونَ
“Apakah mereka orang-orang yang meminum khamr dan mencuri?”
Maka rasulullah pun menjawab,
لَا يَا بِنْتَ الصِّدِّيقِ وَلَكِنَّهُمْ الَّذِينَ يَصُومُونَ وَيُصَلُّونَ وَيَتَصَدَّقُونَ وَهُمْ يَخَافُونَ أَنْ لَا يُقْبَلَ مِنْهُمْ أُولَئِكَ الَّذِينَ يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ
”Tidak wahai ’Aisyah. Mereka adalah orang-orang yang berpuasa, menegakkan shalat dan bersedekah akan tetapi mereka merasa takut amalan yang telah mereka kerjakan tidak diterima di sisi Allah. Mereka itulah golongan yang senantiasa berlomba-lomba dalam mengerjakan kebajikan.” (HR. Tirmidzi nomor 3175. Imam Al Albani menshahihkan hadits ini dalam Shahihut Tirmidzi nomor 2537).
Kontinu dalam Beramal Shalih Selepas Ramadlan
Sebagian orang bijak mengatakan,
مِنْ ثَوَابِ الْحَسَنَةِ اَلْحَسَنَةُ بَعْدَهَا وَمِنْ عُقُوْبَةِ السَّيِّئَةِ اَلسَّيِّئَةُ بَعْدَهَا
“Diantara balasan bagi amalan kebaikan adalah amalan kebaikan yang ada sesudahnya. Sedangkan hukuman bagi amalan yang buruk adalah amalan buruk yang ada sesudahnya.” (Al Fawaa-id hal. 35).
”Oleh karena itu barangsiapa mengerjakan kebaikan kemudian melanjutkannya dengan kebaikan lain, maka hal itu merupakan tanda atas terkabulnya amal pertama. Demikian pula sebaliknya, jika seorang melakukan suatu kebaikan lalu diikuti dengan amalan yang buruk maka hal itu merupakan tanda tertolaknya amal yang pertama.” (Lathaaiful Ma’arif hal. 244).
Melanjutkan berbagai amalan yang telah digalakkan di bulan Ramadlan menandakan diterimanya puasa Ramadhan, karena apabila Allah ta’ala menerima amal seorang hamba, pasti Dia menolongnya dalam meningkatkan perbuatan baik setelahnya. Bukankah Allah ta’ala berfirman,
فَأَمَّا مَنْ أَعْطَى وَاتَّقَى .وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَى .فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَى
”Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (syurga). Maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah.” (Al Lail: 5-7).
Termasuk sebagian ungkapan rasa syukur seorang hamba atas berbagai nikmat yang telah dianugerahkan kepadanya adalah terus menggalakkan berbagai amalan shalih yang telah ia lakukan setelah Ramadhan. Tetapi jika ia malah menggantinya dengan perbuatan maksiat maka ia termasuk kelompok orang yang membalas kenikmatan dengan kekufuran. Apabila ia berniat pada saat melakukan puasa untuk kembali melakukan maksiat lagi, maka puasanya tidak akan terkabul, ia bagaikan orang yang membangun sebuah bangunan megah lantas menghancurkannya kembali. Allah ta’ala berfirman:
وَلا تَكُونُوا كَالَّتِي نَقَضَتْ غَزْلَهَا مِنْ بَعْدِ قُوَّةٍ أَنْكَاثًا (٩٢)
“Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat menjadi cerai berai kembali “(An-Nahl: 92).
Beberapa Amal Shalih Selepas Ramadlan
Saudara sekalian, sekalipun bulan suci Ramadlan telah berakhir, namun amalan seorang mukmin tidak akan berakhir sebelum ajal datang menjemput. Allah ta’ala berfirman,
وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ (٩٩)
”Dan sembahlah Rabb-mu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal).” (Al Hijr: 99).
Jika bulan Ramadlan telah berlalu, maka seorang mukmin tidak akan terputus dalam melakukan ibadah puasa, karena sesungguhnya puasa itu terus disyari’atkan sepanjang tahun. Seorang mukmin masih bisa mengerjakan berbagai macam amalan puasa selepas Ramadlan. Diantaranya adalah puasa sebanyak enam hari di bulan Syawwal. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ
”Siapa yang mengerjakan puasa Ramadlan, kemudian dilanjutkan dengan enam hari puasa di bulan Syawwal, maka itu adalah seperti puasa sepanjang tahun.” (HR. Muslim nomor 1164).
Demikian pula, seorang mukmin masih bisa mengerjakan puasa sunnah sebanyak tiga hari di setiap bulannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ثَلاَثٌ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ ، وَرَمَضَانُ إِلىَ رَمَضَانَ فَهَذَا صِيَامُ الدَّهْرِ
”Tiga hari (puasa) setiap bulan, puasa Ramadlan ke Ramadlan berikutnya, maka ini adalah seperti puasa sepanjang zaman.” (HR. Al Baihaqi nomor 3844 dalam Syu’abul Iman).
Begitupula seorang mukmin masih bisa mengerjakan puasa Senin-Kamis. Dan masih banyak puasa sunnat lainnya yang bisa dikerjakan seorang mukmin.
Jika amalan shalat malam atau shalat tarawih di malam Ramadlan telah berlalu, maka ketahuilah bahwa shalat malam masih terus disyari’atkan pada setiap malam sepanjang tahun. Tidakkah kita mencontoh nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang senantiasa mengerjakan shalat malam hingga kedua telapak kaki beliau bengkak. Semua itu beliau lakukan untuk bersyukur kepada Rabb-nya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ ! أَفْشُوْا السَّلاَمَ وَ أَطْعِمُوْا الطَّعَامَ وَ صَلُّوْا اْلأَرْحَامَ وَ صَلُّوْا بِاللَّيْلِ وَ النَّاسُ نِيَامٌ تَدْخُلُوْا الْجَنَّةَ بِسَلاَمٍ
“Wahai manusia, sebarkanlah salam, berikanlah makanan, sambunglah kekerabatan dan tunaikanlah shalat malam di kala manusia tengah tertidur, niscaya kalian akan memasuki surga dengan damai.” (HR. Hakim nomor 7277. Dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahihul Jami’ nomor 7865).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
أَفْضَلُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلَاةُ اللَّيْلِ
”Shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat malam.” (HR. Muslim nomor 1163).
Di samping itu ada juga berbagai amalan shalat sunnah Rawatib yang berjumlah dua belas raka’at, yaitu empat raka’at sebelum shalat Zhuhur dan dua raka’at sesudahnya, dua raka’at sesudah Maghrib, dua raka’at sesudah Isya’ dan dua raka’at sebelum Subuh. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا مِنْ عَبْدٍ مُسْلِمٍ يُصَلِّي لِلَّهِ كُلَّ يَوْمٍ ثِنْتَيْ عَشْرَةَ رَكْعَةً تَطَوُّعًا غَيْرَ فَرِيضَةٍ إِلَّا بَنَى اللَّهُ لَهُ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ
”Seorang hamba yang senantiasa mengerjakan shalat karena Allah pada setiap harinya sebanyak dua belas raka’at dalam bentuk shalat sunnah dan bukan termasuk shalat wajib, maka niscaya Allah akan membangunkan baginya sebuah rumah di dalam surga.” (HR. Muslim nomor 728).
Seorang mukmin juga akan senantiasa berdzikir kepada Allah ta’ala dengan berbagai dzikir yang dituntunkan oleh nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di setiap kesempatan. Begitupula dengan berbagai amalan kebajikan yang lain seperti bersedekah, membaca Al Qur-an, dan lain sebagainya, selayaknya dilakukan oleh seorang mukmin di luar bulan Ramadlan.
Janganlah kita menjadi orang-orang yang merayakan hari ‘Iedul Fitri dengan penuh suka cita kemudian melupakan dan meninggalkan berbagai amalan yang telah digalakkan di bulan Ramadlan.
Wahb ibnul Wardi pernah melihat sekelompok orang yang bersuka cita dan tertawa di hari ‘Iedul Fitri. Beliau pun lantas mengatakan,
إِنْ كَانَ هَؤُلاَءِ تَقَبَلَ مِنْهُمْ صِيَامَهُمْ فَمَا هَذَا فِعْلُ الشَّاكِرِيْنَ وَ إِنْ كَانَ لَمْ يَتَقَبَّلْ مِنْهُمْ صِيَامَهُمْ فَمَا هَذَا فِعْلُ الْخَائِفِيْنَ
“Apabila puasa mereka diterima di sisi Allah, apakah tindakan mereka tersebut adalah gambaran orang yang bersyukur kepada-Nya. Dan jika ternyata puasa mereka tidak diterima, apakah tindakan mereka itu adalah gambaran orang yang takut akan siksa-Nya.” (HR. Al Baihaqi dalam Asy Syu’ab nomor 3727, Lathaaiful Ma’arif hal. 232).
Ya Allah teguhkanlah kami di atas iman dan amal shalih, hidupkan kami dengan kehidupan yang baik dan sertakan diri kami bersama golongan orang-orang yang shalih.
GCA K4/7,29 Ramadlan 1429 H.
Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim
Artikel www.muslim.or.id
The reminder benefits the believer. Set the Hereafter As high as possible Back of your mind Deep inside the heart As you can see it clearly infront of you The world and what in it will follow. Ya Rabbi Ya ALLAH help me.. None can help me Except You.
Monday, 27 September 2010
Sunday, 26 September 2010
Pakaian Seorang Wanita Beriman (Muslimah) Menurut al-Qur’an & as-Sunna
Pakaian Seorang Wanita Beriman (Muslimah) Menurut al-Qur’an & as-Sunnah
Syarat-Syarat asas pakaian seorang wanita,
...
1 – Menutup Seluruh Tubuh, melainkan bahagian yang dikecualikan (yang boleh untuk tidak ditutup).
2 – Bukan dengan tujuan untuk berhias atau melawa.
3 – Menggunakan kain yang tebal (bukan yang tipis) sebagai kain pakaiannya.
4 – Tidak ketat (longgar) dan menggambarkan bentuk tubuh.
5 – Tidak diberi wangian (perfume).
6 – Tidak menyerupai pakaian lelaki.
7 – Tidak menyerupai pakaian wanita kafir.
8 – Bukan pakaian untuk bermegah-megah.
Perintah Menutup Aurat
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَ...لا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الإرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ وَلا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Maksudnya: “Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan (menjaga) pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan (memanjangkan) kain tudung (khimar) ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera (anak-anak lelaki) mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan lelaki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung”.” (Surah an-Nuur, 24: 31)
لا جُنَاحَ عَلَيْهِنَّ فِي آبَائِهِنَّ وَلا أَبْنَائِهِنَّ وَلا إِخْوَانِهِنَّ وَلا أَبْنَاءِ إِخْوَانِهِنَّ وَلا أَبْنَاءِ أَخَوَاتِهِنَّ وَلا نِسَائِهِنَّ وَلا مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ وَاتَّقِينَ اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدًا
“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengenakan (dan melabuhkan) jilbabnya (pakaian) ke seluruh tubuh mereka”. Dengan demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenali, dan dengan itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Surah al-ahzaab, 33: 59)
SYARAT ASAS PERTAMA-
1 – Menutup Seluruh Tubuh, melainkan bahagian yang dikecualikan (yang boleh untuk tidak ditutup).
Merujuk kepada ayat 31 Surah an-Nuur
...
“وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلا مَا ظَهَرَ مِنْهَا” - “Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya.”
Maksudnya di sini, janganlah kamu (wanita yang beriman) menampakkan walau satu pun perhiasannya kepada lelaki ajnabi (yang bukan mahram), kecuali yang tidak dapat disembunyikan.
Ibnu Mas’oud (radhiyallahu ‘anhu) berkata: (iaitu) “Selendang dan pakaian”. Maksudnya di sini adalah kain tutup kepala yang biasa dikenakan oleh wanita arab dan baju yang menutupi badannya. Tidak mengapa menampakkan pakaian bawahnya. (al-Mishbaahul Muniir fii Tahdziibi Tafsiiri Ibni Katsir, jil. 7, m/s. 374-375)
Manakala sebahagian yang lain (pendapat yang lebih kuat) menyatakan bahawa tidak mengapa menampakkan tapak tangan (dari pergelangan ke tapak tangan) dan muka/wajah. Syaikh al-albani menjelaskan berdasarkan riwayat-riwayat yang mutawatir bahawa “kecuali yang (biasa) nampak daripadanya” adalah muka/wajah dan tapak tangan sebagaimana yang biasa berlaku kepada wanita-wanita pada zaman Nabi dan generasi sahabat. (al-Albani, Jilbab al-Mar’atil Muslimah fii Kitabi wa as-Sunnah, 1412H, m/s. 60)
Begitu juga dengan imam al-Qurthubi yang menjelaskan bahawa “kecuali yang (biasa) nampak daripadanya” adalah muka/wajah dan tapak tangan dan ianya dikuatkan dengan dalil dari hadis riwayat Abu Daud:
Dari ‘Aisyah, bahawa Asma’ binti Abu Bakar pernah menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam dengan mengenakan pakaian yang tipis. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam pun berpaling darinya, lalu berkata, “Wahai Asma’, sesungguhnya wanita itu apabila telah mencapai masa haid, dia tidak sepatutnya memperlihatkan tubuhnya melainkan ini dan ini. Beliau berkata begitu sambil menunjuk ke wajah dan kedua tapak tangannya. Ini adalah cara yang paling baik dalam menjaga dan mencegah kerosakan manusia. Maka, janganlah para wanita menampakkan bahagian tubuhnya, melainkan wajah dan tapak tangannya. Allahlah yang memberi taufiq dan tidak ada Tuhan (yang benar) melainkan Dia.” (Tafsir al-Qurthubi, 11/229. Rujuk: al-Albani, Jilbab al-Mar’atil Muslimah fii Kitabi wa as-Sunnah, 1412H, m/s. 58-59)
Hadis ‘Aisyah yang diriwayatkan oleh Abu Daud tersebut juga diriwayatkan oleh al-Baihaqi, 2/226, 7/86. ath-Thabrani, Musnad asy-Syamiyyin, m/s. 511-512. Ibnu Adi, al-Kamil, 3/1209. Syaikh al-Albani menyatakan bahawa hadis ini mursal sahih dari jalan Qatadah yang dikuatkan dengan jalan Ibnu Duraik serta Ibnu Basyir. Rujuk perbahasan selanjutnya berkenaan hadis ini oleh al-Albani, Jilbab al-Mar’atil Muslimah fii Kitabi wa as-Sunnah, 1412H, m/s. 67-68)
“وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ” – “Dan hendaklah mereka menutupkan (memanjangkan) kain tudung (khimar) ke dadanya,” Maksudnya, kain tudung yang memanjang melebihi dada sehingga dapat menutupi dada dan tulang dada. Hukum ini adalah supaya wanita mukmin memiliki perbezaan yang jelas berbanding dengan wanita-wanita jahiliyyah, kerana wanita-wanita jahiliyyah tidak pernah melakukan apa yang diperintahkan oleh Allah tersebut. Menjadi kebiasaan mereka lalu di hadapan para lelaki dengan menampakkan dada tanpa ditutupi. Malah, mereka juga menampakkan leher, jambul rambut, dan anting-anting telinga mereka. Maka, Allah Subhanahu wa Ta’ala pun memerintahkan kepada wanita-wanita yang beriman supaya menutup diri mereka di hadapan lelaki ajnabi (yang bukan mahramnya) atau apabila keluar dari rumah. (al-Mishbaahul Muniir fii Tahdziibi Tafsiiri Ibni Katsir, jil. 7, m/s. 375)
Maka, dengan ini, jelaslah bahawa wanita-wanita yang beriman (Islam) wajib untuk berhijab (menutup aurat) dengan mengenakan pakaian menutup seluruh tubuhnya kecuali yang dibenarkan terbuka (dinampakkan) iaitu muka dan tapak tangan.
Menurut Syaikh al-Albani rahimahullah:
“Wajib bagi seluruh kaum wanita, sama ada yang merdeka, atau pun yang hamba supaya menutup jilbab ke seluruh tubuh mereka apabila keluar rumah (atau di hadapan lelaki ajnabi). Mereka hanya dibolehkan menampakkan wajah dan tapak tangannya sahaja berdasarkan kebiasaan yang berlaku pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam kerana adanya persetujuan beliau Shallallahu ‘alaihi wa Salam terhadap mereka.” (al-Albani, Jilbab al-Mar’atil Muslimah fii Kitabi wa as-Sunnah,
1412H, m/s. 111)
Wajibkah Menutup Wajah/Muka (Bagi Wanita)?
Sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud di atas, membuka wajah bukanlah suatu yang diharamkan malah dibenarkan. Memang terdapat sebahagian pendapat yang menyatakan bahawa menutup wajah ada...lah wajib (dengan membiarkan hanya mata yang kelihatan). Maka, terdapat sebahagian wanita yang mempraktikkannya dengan mengenakan niqab (kain penutup yang menutup wajah dari hidung atau dari bawah lekuk mata dan ke bawah) atau purdah. Namun, menurut Syaikh al-Albani rahimahullah, menutup wajah dan kedua tapak tangan itu hukumnya adalah sunnah dan mustahab sahaja (tidak sampai kepada hukum wajib). (al-Albani, Jilbab al-Mar’atil Muslimah fii Kitabi wa as-Sunnah, 1412H, m/s. 12)
Beliau juga menjelaskan bahawa:
“Dapat diambil kesimpulan bahawa permasalahan menutup wajah bagi seseorang wanita dengan purdah/niqab atau yang sejenisnya seperti yang dikenakan oleh sebahagian wanita zaman ini yang bersungguh-sungguh menjaga dirinya adalah suatu perkara yang memang terdapat di dalam syari’at dan termasuk amalan/perbuatan yang terpuji walaupun ianya bukanlah suatu hukum yang diwajibkan (ke atas mereka). Kepada mereka yang mengenakannya (menutup wajah) bererti dia telah melakukan suatu kebaikan dan mereka yang tidak melakukannya pula tidaklah berdosa.” (al-Albani, Jilbab al-Mar’atil Muslimah fii Kitabi wa as-Sunnah, 1412H, m/s. 128)
Ini adalah kerana terdapat banyaknya riwayat-riwayat yang jelas menunjukkan bahawa tidak wajibnya menutup wajah. Namun, terdapat juga riwayat-riwayat yang lain yang menunjukkan adanya sunnah terhadap perbuatan menutup wajah (bagi wanita).
Riwayat Yang Menunjukkan Adanya Sunnah Menutup Wajah
Perlu kita fahami bahawa walaupun perbuatan menutup wajah dan tapak tangan bukanlah suatu perkara yang diwajibkan bagi wanita, namun perbuatan tersebut ada dasarnya dari Sunnah, dan ianya ...juga pernah dipraktikkan oleh para wanita di Zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam sebagaimana yang pernah disabdakan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam sendiri (maksudnya),
“Janganlah wanita yang ber-ihram itu mengenakan penutup wajah/muka atau pun penutup/kaos (sarung) tangan.” (Hadsi Riwayat al-Bukhari, 4/42, dari Ibnu ‘Umar)
Dari hadis ini menunjukkan bahawa apabila di luar waktu berihram, mereka akan mengenakan penutup wajah dan tangan. Maka dengan sebab itulah Nabi mengarahkan apabila mereka di dalam ihram supaya tidak berbuat demikian (menutup wajah dan tangan).
Malah, terdapat banyak hadis yang menunjukkan bahawa para isteri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam memakai niqab (menutup wajah-wajah mereka). Perbuatan menutup wajah juga tsabit dari banyak atsar-atsar sahabat/tabi’in yang sahih. Ini adalah sebagaimana beberapa riwayat berikut:
1 - Dari ‘Aisyah, dia berkata:
“Biasanya para pemandu lalu di hadapan kami yang sedang berihram bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam. Maka, jika mereka melewati kami, maka masing-masing dari kami menjulurkan jilbab yang ada di atas kepala untuk menutup muka. Namun, apabila mereka sudah berlalu dari kami, maka kami pun membukanya kembali.” (Hadis Riwayat Ahmad, al-Musnad, 5/30. Hadis ini hasan, lihat al-Irwa’, no. 1023, 1024)
2 – Dari Asma’ binti Abu Bakar, dia berkata:
“Kami biasa menutup wajah kami dari pandangan lelaki dan sebelum itu kami juga biasa menyisir rambut ketika ihram.” (Hadis Riwayat al-Hakim, al-Mustadrak, 1/545. Disepakati oleh adz-Dzahabi)
3 – Dari Ashim al-Ahwal, dia berkata:
“Kami pernah mengunjungi Hafshah bin Sirin (seorang tabi’iyah) yang ketika itu dia menggunakan jilbabnya untuk menutup wajahnya. Lalu, aku katakan kepadanya, “Semoga Allah memberi rahmat kepadamu. Allah berfirman: “Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tidak memiliki keinginan untuk berkahwin (lagi), bagi mereka tiada dosa menanggalkan pakaian mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan, dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka.” (Surah an-Nuur, 24: 60).” (Atsar Riwayat oleh al-Baihaqi, 7/93)
Berkenaan ayat 60 dari surah an-Nuur tersebut, Syaikh Abdurrahman as-Sa’di berkata di dalam tafsirnya, jil. 5, m/s. 445, katanya: “Iaitu pakaian yang jelas tampak, seperti khimar (penutup kepala) dan sejenisnya yang sebelumnya telah Allah wajibkan untuk dipakai oleh wanita sebagaimana di dalam ayat “... dan hendaklah mereka melabuhkan khimar mereka sehingga ke dadanya.”
4 – Dari ‘Abdullah bin ‘Umar, dia berkata:
“Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam meliuhat Syafiyah, beliau Shallallahu ‘alaihi wa Salam melihat ‘Aisyah mengenakan niqab (penutup wajah) di dalam sekumpulan para wanita. Dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa Salam tahu bahawa itu adalah ‘Aisyah berdasarkan niqabnya.” (Hadis Riwayat Ibnu Sa’ad, 8/90)
5 – Dari Anas bin Malik (dalam Perang Khaibar):
“...Akhirnya para sahabat pun mengetahui bahawa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam menjadikannya (Shafiyah) sebagai isteri. Ini adalah kerana beliau Shallallahu ‘alaihi wa Salam memakaikan khimar kepadanya dan membawanya duduk di belakangnya (di atas unta). Dan beliau pun menutupkan selendang (pakaian) beliau Shallallahu ‘alaihi wa Salam pada punggung dan wajahnya...” (Lihat: Hadis Riwayat al-Bukhari, 7/387, 9/105. Muslim, 4/146-147. Ahmad, 3/123, 246, 264)
6 – Dari ‘Aisyah (di dalam peristiwa al-Ifki), dia berkata:
(ketika di dalam suatu perjalanan perperangan, ‘Aisyah tertinggal dalam satu persinggahan) katanya, “... aku berharap kumpulan prajurit akan menyedari bahawa aku tidak ada di dalam tandu dan segera akan kembali mencariku (yang tertinggal). Ketika aku duduk di perkhemahanku itu, aku terasa mengantuk lalu aku pun tertidur.
Ketika itu, Shafwan bin Mu’aththal as-Sulaimi adz-Dzakwani juga mengalami nasib yang sama, tertinggal dari rombongan prajurit. Dia pun berjalan menghampiri perkhemahanku dan melihat dari kegelapan ada sekujur tubuh manusia yang sedang tertidur. Dia pun menghampiriku. Dan dia mengenaliku, kerana dia pernah melihatku sebelum turun ayat hijab. Ketika dia tahu bahawa yang tertidur itu adalah aku, dia pun berteriak istirja’ (inna lillahi wa inna ilaihi raji’un). Teriakan tersebut membuatkanku terjaga dari tidur dan aku cepat-cepat menutup wajahku dengan jilbab...” (rujuk di dalam Tafsir Ibnu Katsir di bawah penafsiran Surah an-Nuur, 24: 11. Sirah Ibnu Hisyam, 3/309. Hadis Riwayat al-Bukhari, 8/194-197. Muslim, 8/133-118)
Riwayat Yang Menunjukkan Dibolehkan Membuka Wajah Dan Tapak Tangan
1 - Dari Imran bin Hushain, katanya:
“Suatu ketika aku pernah duduk bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam. Tiba-tiba Fatimah datang, lalu berdiri di hadapan beliau S...hallallahu ‘alaihi wa Salam. Aku memandang ke arahnya. Di wajahnya terdapat darah yang kekuning-kuningan...”(Hadis Riwayat Ibnu Jarir, at-Tahzib (Musnad Ibnu Abbas), 1/286, 481)
2 – Dari Abu Asma’ ar-Rabi’, dia menyatakan bahawa pernah mengunjungi Abu Dzar al-Ghifari yang ketika itu sedang berada di Rabdzah, yang di sampingnya ada isteri yang berkulit hitam... (Hadis Riwayat Ahmad, al-Musnad, 5/159)
3 – Dari Urwah bin Abdullah bin Qusyar, dia pernah mengunjungi Fathimah binti Abu Thalib. Dia berkata, “Aku melihat di tangan Fathimah terdapat gelang tebal, yang pada tiap-tiap tangannya terdapat dua gelang.” Dia berkata lagi, “Dan aku juga melihat ada cincin di tangannya...” (Hadis Riwayat Ibnu Sa’ad, 8/366. Shahih menurut Syaikh al-Albani)
4 – Dari Mu’awiyah, dia berkata:
“Aku pernah bersama ayahku mengunjungi Abu Bakar. Aku melihat Asma’ berdiri dekat dengannya, dan Asma’ kelihatan putih (wajahnya). Lalu aku melihat Abu Bakar. Ternyata dia adalah seorang lelaki yang putih dan kurus.” (Hadis Riwayat ath-Thabrani, Mu’jam al-Kabir, 1: 10/25)
5 – Dari ‘Aisyah, katanya:
“Kami para wanita mukminah biasanya menghadiri solat Subuh bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam dengan mengenakan kain yang tidak berjahit. Kemudian para wanita tadi pulang ke rumahnya sebaik sahaja melaksanakan solat. Mereka tidak dapat dikenali disebabkan gelap.” (Hadis Riwayat al-Bukhari & Muslim. Lihat juga Shahih Sunan Abi Daud, no. 449)
Daripada hadis tersebut, para wanita tidak dapat dikenali diakibatkan oleh keadaan yang gelap. Sekiranya tidak gelap, sudah tentu mereka dapat dikenalpasti. Ini menunjukkan bahawa mereka tidak mengenakan penutup wajah yang mana mereka boleh dikenali.
6 – Dari Ibnu Abbas dia berkata:
“Pernah seorang wanita solat di belakang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam (di saf wanita). Dia seorang wanita yang sangat cantik dan secantik-cantik wanita...” (Hadis Riwayat al-Hakim. Sahih, disepakati oleh adz-Dzahabi. Lihat juga, Silsilah al-Ahadis as-Sahihah, no. 2472)
Malah, bolehnya membuka wajah bagi wanita tersebut juga turut didukung oleh firman Allah Subhanahu wa Ta’ala sendiri,
“Katakanlah kepada lelaki yang beriman supaya menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan mereka...” (Surah an-Nuur, 24: 30)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam berkata kepada Ali, “Wahai Ali, janganlah engkau ikuti pandangan pertamamu dengan pandangan yang berikutnya. Sesungguhnya hak kamu adalah pandangan yang pertama itu sahaja.” (Hadis Riwayat Abu Daud, 1/335. Hadis hasan menurut Syaikh al-Albani)
Dari Jarir bin Abdullah, dia berkata: “Aku pernah berkata kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam berkenaan pandangan sekilas (pandangan pertama). Beliau meemrintahkanku supaya segera memalingkan pandangan tersebut.” (Hadis Riwayat Muslim, 6/182)
Kesimpulan dari firman Allah dan hadis tersebut adalah, sekiranya wanita tersebut menutup wajah-wajah mereka, mengapa perlu untuk menundukkan pandangan? Dengan ini, ia menunjukkan bahawa pada wanita itu ada bahagian yang terbuka dan memungkinkan untuk dilihat.
Malah berdasarkan hadis tersebut, sekiranya wajah wajib ditutup, sudah tentu bukan sahaja Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam memerintahkan kaum lelaki memalingkan wajahnya, tetapi juga beliau akan memerintahkan wanita untuk mengenakan penutup wajah.
#
SYARAT ASAS KEDUA-
2 - Bukan dengan tujuan untuk berhias atau melawa (tabarruj):
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
...
“Dan hendaklah kamu (isteri-isteri Nabi) tetap di rumahmu serta janganlah kamu berhias (tabarruj) dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu...” (Surah al-ahzaab, 33: 33)
Wanita-wanita diperintahkan supaya tinggal di rumah, namun tetap dibenarkan untuk keluar rumah dengan alasan yang dibenarkan oleh Syara’.
Muqatil bin Hayyan menyatakan berkenaan firman Allah (maksudnya), “janganlah kamu berhias (tabarruj) dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu” bahawa yang dimaksudkan dengan tabarruj adalah meletakkan tudung di atas kepala tanpa menutup bahagian leher, sehingga kalung-kalung mereka, anting-anting, dan leher mereka dapat dilihat. Qatadah berkata, “Apabila kaum wanita keluar rumah, mreka gemar berjalan dengan lenggang-lenggok, lemah gemalai, dan manja. Maka Allah melarang semua itu. (al-Mishbaahul Muniir fii Tahdziibi Tafsiiri Ibni Katsir, jil. 7, m/s. 279)
Menurut Syaikh al-albani rahimahullah:
“Tabarruj adalah perbuatan wanita menampakkan perhiasan dan kecantikannya, serta segala sesuatu yang sewajibnya ditutup dan disembunyikan kerana boleh membangkitkan syahwat klelaki. Dengan itu, maksud asal perintah menutup aurat adalah supaya kaum wanita menutup perhiasaannya (yang memiliki daya tarikan). Atas sebab itulah, maka tidak masuk akal sekiranya jilbab yang bertujuan menutup tubuh (aurat/perhiasan) itu pula menjadi pakaian untuk berhias/melawa sebagaimaan yang sering kita temui zaman ini.” (al-Albani, Jilbab al-Mar’atil Muslimah fii Kitabi wa as-Sunnah, 1412H, m/s. 133)See More
-SYARAT ASAS KETIGA-
3 - Menggunakan kain yang tebal (bukan yang tipis) sebagai kain pakaiannya
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda:
...
“Pada akhir zaman nanti ada wanita dari kalangan umatku yang berpakaian, namun sebenarnya mereka telanjang. Di atas kepala mereka seperti terdapat punggung unta. Kutuklah mereka itu, kerana sebenarnya mereka adalah wanita-wanita yang terkutuk.” (Hadis Riwayat ath-Thabrani, Mu’jam al-Kabir, m/s. 232. Rujuk Silsilah al-Ahadis ash-Shahihah, no. 1326)
Ibnu Abdil Barr berkata: “Apa yang dimaksudkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam adalah para wanita yang mengenakan pakaian yang tipis sekaligus menggambarkan bentuk tubuhnya...” (as-Suyuti, Tanwir al-Hawalik, 3/103)
Dari Abdullah bin Abu Salamah, bahawa ‘Umar al-Khaththab pernah membahagikan baju qibthiyah (jenis pakaian mesir yang tipis berwarna putih) kepada masyarakat, kemudian dia berkata, “Janganlah kamu pakaikan baju-baju ini kepada isteri-isteri kamu!” Kemudian ada seseorang yang menjawab, “Wahai Amirul Mukminin, aku telah memakaikannya kepada isteriku, dan telah aku perhatikan dari arah depan serta belakang, yang ternyata pakaian tadi tidaklah termasuk pakaian yang tipis.” Maka ‘Umar pun menjawab, “Sekalipun tidak tipis, namun pakaian tersebut masih tetap menggambarkan bentuk tubuh.” (Atsar Riwayat al-Baihaqi, 2/234-235)
Dari Syamiyah, dia berkata: “Aku pernah mengunjungi ‘Aisyah yang mengenakan pakaian siyad, shifaq, khimar, serta nuqbah yang berwarna kuning.” (Atsar Riwayat Ibnu Sa’ad, 8/70)
Siyad: adalah pakaian campuran sutera yang tebal.
Shifaq: adalah pakaian yang tebal dan begitu baik mutu tenunannya.
Nuqbah: adalah seluar yang tebal kainnya dan bermutu.
Maka, dengan itu hendaklah pakaian yang dikenakan bersifat tebal dan tidak tipis. Sekaligus tidak menggambarkan bentuk tubuh dan menampakkan warna kulit serta apa yang wajib disembunyikan (ditutup).
-SYARAT ASAS KEEMPAT-
4 - Tidak ketat (longgar) dan menggambarkan bentuk tubuh
Usamah bin Zaid berkata:
...
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam pernah memberikan kepadaku baju qibthiyyah yang tebal hadiah dari Dihyah al-Kalbi. Baju tersebut aku pakaikan kepada isteriku. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam bertanya kepadaku, “Mengapa engkau tidak pernah memakai baju qibthiyyah?” Aku memberitahunya, “Baju tersebut aku pakaikan kepada isteriku.” Beliau lantas berkata, “Perintahkan isterimu supaya memakai baju dalam ketika mengenakan baju qibthiyyah tersebut, kerana aku bimbang baju tersebut masih dapat menggambarkan bentuk tubuhnya.” (Hadis Riwayat Adh-Dhiya’ al-Maqdisi, al-Ahadis al-Mukhtarah, 1/441. Ahmad, 5/205. Hadis ini memiliki penguat di dalam Riwayat Abu Daud, no. 4116 sehingga menjadikannya hasan)
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam menjelaskan sebab larangan memakai baju qibthiyyah bagi wanita adalah kerana kebimbangan beliau bahawa baju tersebut masih dapat menggambarkan bentuk tubuh.
Jika kita perhatikan, bukankah pakaian tersebut tebal, jadi apa gunanya mengenakan pakaian dalam untuk masa yang sama?
Maka, perlulah kita fahami bahawa baju qibthiyyah tersebut walaupun tebal, namun ia masih boleh menggambarkan bentuk tubuh, kerana dia memiliki sifat lembut dan lentur (melekat) di tubuh seperti pakaian yang terbuat dari sutera atau tenunan dari bulu kambing yang dikenali pada zaman ini. Dengan sebab itulah, Rasulullah memerintahkan isteri Usamah supaya memakai pakaian dalam supaya bentuk tubuhnya dapat dilindungi dengan baik.
Dari Ummu Ja’far bintu Muhammad bin Ja’far, bahawa Fathimah binti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam pernah berkata:
“Wahai Asma’, sesungguhnya aku memandang buruk seorang wanita yang mengenakan pakaian tetapi masih menggambarkan bentuk tubuhnya.” (Atsar Riwayat abu Nu’aim, al-Hilyah, 2/43. al-Baihaqi, 6/34-35)
-SYARAT ASAS KELIMA-
5 - Tidak Diberi Wangian (perfume)
Dari Abu Musa al-Asy’ary, dia berkata:
...
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda:
“Wanita yang memakai wangi-wangian, dan kemudian dia melintasi suatu kaum supaya mereka mencium bau wanginya, maka wanita tersebut adalah wanita penzina.” (Hadis Riwayat an-Nasa’i, 2/283. Abu Daud, no. 4172, at-Tirmidzi, 2786. Ahmad, 4/400. Menurut al-Albani, hadis ini hasan)
“Alasan dari larangan tersebut dapat dilihat dengan jelas iaitu menggerakkan panggilan syahwat (kaum lelaki). Sebahagian ulama telah mengaitkan perkara lain dengannya, seperti memakai pakaian yang cantik (melawa), perhiasan yang ditampakkan, dan bercampur baur dengan kaum lelaki.” (Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Fathul Bari, 2/279. Lihat Abu Malik Kamal, Ensiklopedi Fiqh Wanita, jil. 2, m/s. 151)
Dari Abu Hurairah, dia berkata:
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam pernah bersabda: “Wanita yang memakai bakthur (sejenis pewangi untuk pakaian), janganlah solat ‘isya’ bersama kami.” (Lihat Silsilah al-Ahadis ash-shahihah, no. 1094)
Dari Zainab ats-Tsaqafiyah, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda:
“Jika salah seorang wanita di antara kamu hendak ke masjid, maka janganlah sekali-kali dia memakai wangi-wangian.” (Hadis Riwayat Muslim)
Menurut Syaikh al-Albani rahimahullah:
“Apabila perkara tersebut diharamkan bagi wanita yang hendak ke masjid, maka apatah lagi bagi wanita yang bukan ke masjid seperti ke pasar dan seumpamanya? Tidak diragukan lagi bahawa perkara tersebut lebih haram dan lebih besar dosanya.” (al-Albani, Jilbab al-Mar’atil Muslimah fii Kitabi wa as-Sunnah, 1412H, m/s. 151)
Al-Haitsami rahimahullah menjelaskan:
“Sesungguhnya keluarnya seseorang wanita dari rumahnya dengan mengenakan wangi-wangian dan perhiasan adalah dosa besar, walaupun suaminya memberi izin padanya.” (al-Haitsami, az-Zawaajir, 2/37. Lihat Abu Malik Kamal, Ensiklopedi Fiqh Wanita, jil. 2, m/s. 151)
-SYARAT ASAS KEENAM-
6 - Tidak menyerupai pakaian lelaki
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata:
...
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam melaknat lelaki yang memakai pakaian wanita dan wanita yang memakai pakaian lelaki.” (Hadis Riwayat Abu Daud, 2/182. Ibnu Majah. 1/588, Ahmad. 2/325. Sanad Hadis ini Sahih)
Dari Ibnu abbas radhiyallahu ‘anhu, dia berkata:
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam melaknat lelaki yang menyerupai wanita, dan wanita yang menyerupai lelaki.” (Hadis Riwayat al-Bukhari, 10/274)
Batas larangan yang dimaksudkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam berkenaan penyerupaan wanita dengan lelaki atau yang sebaliknya tidaklah hanya merujuk kepada apa yang dipilih oleh sama ada kaum lelaki atau wanita berdasarkan apa yang biasa mereka pakai. Tetapi, apa yang lebih penting adalah perlunya merujuk kembali kepada apa yang wajib dikenakan bagi kaum lelaki dan wanita berpandukan kepada perintah syara’ yang mewajibkan menutup aurat menurut kaedahnya. (Lihat juga: Abu Malik Kamal, Ensiklopedi Fiqh Wanita, jil. 2, m/s. 152)
Di antara contoh perbuatan kaum wanita pada masa ini yang menyerupai kaum lelaki di dalam berpakaian adalah mereka memendekkan kain-kain atau pakaian-pakaian mereka sehingga mengakibatkan tersingkapnya kaki dan betis-betis mereka. Malah lebih parah sehingga peha-peha mereka menjadi tontonan umum.
Persoalan ini dapat kita fahami dengan baik melalui hadis yang berikut ini,
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, “Sesiapa yang melabuhkan pakaiannya (melebihi mata kaki/buku lali) dengan kesombongan, maka Allah tidak akan melihatnya pada Hari Kiamat. Ummu Salamah bertanya, “Bagaimana dengan kaum wanita, apa yang harus dilakukan pada hujung (bawah) kain mereka?” Baginda pun menyatakan: “Sekiranya mereka melabuhkannya, labuhkanlah sejengkal (dari tengah-tengah betis). Ia berkata, “Sesungguhnya jika seperti itu (hanya sejengkal) maka kaki mereka akan masih dapat tersingkap”. Baginda menjelaskan, “Maka, labuhkanlah sehingga sehasta dan jangan lebih dari itu”. (Hadis Riwayat Abu Daud, 4/364, no. 4119. an-Nasaa’i, 8/209, no. 5336-5339. at-Tirmidzi, 4/223, no. 1736. Ahmad di dalam al-Musnad, 2/5555. Dan Abul Razak as-San’ani di dalam al-Mushannafnya 11/82. Berkata Imam Muslim: Sanad hadis ini sahih)
Melalui hadis ini, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam memerintahkan supaya para wanita melabuhkan kain-kain atau pakaian mereka sehingga tertutupnya betis dan kaki mereka.
Namun, apa yang berlaku pada masa ini adalah sebaliknya. Di mana, telah banyak tersebar dan diketahui secara umum bahawa begitu ramai sekali kaum lelaki yang gemar melabuhkan pakaiannya sehingga menyentuh tanah atau melabuhkannya dengan melepasi paras mata kaki (buku lali), namun berlaku sebaliknya pula kepada kaum wanita di mana mereka pula banyak berpakaian seakan-akan tidak cukup kain. Iaitu dengan mendedahkan aurat kepalanya (tidak bertudung), memakai pakaian ketat dan malah memendekkan kainnya atau seluarnya sehingga tersingkap betis-betis mereka.
Bukankah ini sudah menunjukkan suatu perkara yang terbalik berbanding sebagaimana yang dikehendaki oleh syari’at? Di mana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam memerintahkan agar kaum lelaki supaya tidak ber-isbal (tidak melabuhkan pakaiannya melebihi buku lali), dan memerintahkan agar kaum wanitanya melabuhkan kain sehingga sejengkal melebihi buku lali.
Maka, tidak syak lagi, bahawa perkara ini juga tergolong di dalam suatu bentuk penyerupaan di antara satu jantina dengan jantina yang lain dalam berpakaian dan bertingkah laku.
Ini hanyalah sebagai contoh, malah banyak lagi contoh yang lainnya (bagi lelaki yang menyerupai wanita) seperti lelaki yang mengenakan sutera sebagai pakaian yang mana ia adalah pakaian yang diharamkan kepada lelaki tetapi diharuskan bagi wanita. Begitu juga dalam persoalan memakai emas, anting-anting, dan seumpamanya.
Dan bagi wanita yang menyerupai lelaki adalah mereka mengenakan pakaian seluar yang ketat, berseluar pendek, tidak mengenakan tudung, memakai baju yang menampakkan lengan-lengan mereka dan seumpamanya.
-SYARAT ASAS KETUJUH-
7 - Tidak Menyerupai Pakaian Wanita Kafir (Tasyabbuh)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
...
“Adakah belum datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk hatinya tunduk mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya yang telah diturunkan al-Kitab kepada mereka, kemudian berlalulah masa yang panjang ke atas mereka sehinggalah hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasiq.” (Surah al-Hadid, 57: 16)
Ibnu Katsir menjelaskan berkenaan ayat ini dengan katanya: “Oleh kerana itu, Allah Ta’ala melarang orang-orang yang beriman menyerupai mereka (orang-orang yahudi) sama ada dalam perkara aqidah atau pun perkara-perkara fiqh.
Beliau juga menjelaskan (di bawah penafsiran al-Baqarah, 2: 104):
“Allah Ta’ala melarang hamba-hamba-Nya yang beriman menyerupai orang-orang kafir, sama ada dalam ucapan mahu pun perbuatan mereka.” (al-Mishbaahul Muniir fii Tahdziibi Tafsiiri Ibni Katsir, jil. 1, m/s. 364)
Dari Ibnu ‘Umar, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda:
“Sesiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk dari golongan mereka.” (Hadis Riwayat Abu Daud. Sahih menurut Syaikh al-Albani dalam Shahihul Jami’, no. 6149)
Syaikh al-Albani rahimahullah menjelaskan:
“Di dalam syari’at Islam telah ditetapkan bahawa umat Islam, sama ada lelaki atau pun perempuan, mereka tidak dibenarkan bertasyabbuh (menyerupai) orang-orang kafir, sama ada dalam persoalan ibadah, hari perayaan, dan juga berpakaian terutamanya yang merujuk kepada pakaian-pakaian khas agama mereka. Ini adalah merupakan prinsip yang asas di dalam agama Islam, yang sayangnya telah banyak diabaikan oleh umat Islam zaman sekarang” (al-Albani, Jilbab al-Mar’atil Muslimah fii Kitabi wa as-Sunnah, 1412H, m/s. 176)
Di dalam sebuah hadis, ia menjelaskan bahawa Rasulullah mengharamkan kepada kita memakai pakaian yang merupakan pakaian orang-orang kafir.
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam melihatku memakai dua pakaian yang diwarnai dengan warna kuning (yang menyerupai pakaian kebiasaan orang kafir), maka beliau pun berkata:
“Sesungguhnya ini adalah pakaian orang-orang kafir, maka janganlah engkau memakainya”.” (Hadis Riwayat Muslim, no. 2077. an-Nasa’i 2/298. Ahmad, 2/162)
Dari Ali radhiyallahu ‘anhu: “Janganlah kamu memakai pakaian para pendeta (seperti paderi, brahma, sami). Kerana sesungguhnya sesiapa yang mengenakan pakaian seumpama itu atau menyerupai mereka, maka dia bukan termasuk golonganku.” (Hadis Riwayat ath-Thabrani, al-Ausath)
Jika kita mahu mengambil contoh pada zaman sekarang, kita boleh melihat terdapat sebahagain umat Islam yang menggayakan/mengenakan pakaian sari (milik mereka yang beragama hindu), memakai pakaian Santa Claus (milik orang Kristian), dan juga memakai pakaian sami yang berwarna kuning, dan seumpamanya.
Dalam persoalan tasyabbuh ini sebagaimana yang dijelaskan, ia tidaklah terhad dalam persoalan berpakaian, malahan bersifat umum dan menyeluruh. Jika kita lihat hadis-hadis dalam persoalan tasyabbuh ini, ia turut menunjukkan betapa Nabi menegaskan larangan menyerupai orang-orang kafir dalam soal ibadah seperti solat, puasa, haji, jenazah, makanan, dan seterusnya.
-SYARAT ASAS KELAPAN-
8 – Bukan Pakain Untuk Bermegah-megah (Menunjuk-nunjuk)
Dari Ibnu ‘Umar, dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda:
...
“Sesiapa yang memakai pakaian syuhrah (kebanggaan), maka Allah akan memakaikannya pakaian kehinaan pada hari Kiamat kemudian membakarnya dengan Api Neraka.” (Hadis Riwayat Abu Daud, 2/172, no. 4029)
Pakaian syuhrah adalah pakaian yang dipakai dengan tujuan supaya terkenal di mata orang kebanyakan, sama ada pakaian yang sangat berharga yang dipakai dalam rangka tujuan berbangga (mencari populariti) di dunia dan perhiasannya atau pakaian yang lusuh dengan tujuan menampakkan sifat kezuhudan dan menarik perhatian. (Lihat: Abu Malik Kamal, Ensiklopedi Fiqh Wanita, jil. 2, m/s. 153)
Hukum Menutup Kaki Bagi Wanita
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, “Sesiapa yang melabuhkan pakaiannya (melebihi mata kaki/buku lali) dengan kesombongan, maka Allah tidak akan melihatnya pada Hari Kiamat. Ummu Salamah bertanya..., “Bagaimana dengan kaum wanita, apa yang harus dilakukan pada hujung (bawah) kain mereka?” Baginda pun menyatakan: “Sekiranya mereka melabuhkannya, labuhkanlah sejengkal (dari tengah-tengah betis). Ia berkata, “Sesungguhnya jika seperti itu (hanya sejengkal) maka kaki mereka akan masih dapat tersingkap”. Baginda menjelaskan, “Maka, labuhkanlah sehingga sehasta dan jangan lebih dari itu”. (Hadis Riwayat Abu Daud, 4/364, no. 4119. an-Nasaa’i, 8/209, no. 5336-5339. at-Tirmidzi, 4/223, no. 1736. Ahmad di dalam al-Musnad, 2/5555. Dan Abul Razak as-San’ani di dalam al-Mushannafnya 11/82. Berkata Imam Muslim: Sanad hadis ini sahih)
Berdasarkan hadis ini, bahawa wanita perlu (wajib) menutup kaki-kaki mereka termasuklah betis-betis mereka iaitu dengan melabuhkan kain-kain mereka sebanyak satu hasta (lebih kurang satu kaki) dari pertengahan betis mereka.
Malah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam mebenarkan pakaian wanita terseret di atas tanah bagi tujuan menutup kaki-kaki mereka. (Lihat penjelasannya oleh Ibnu Taimiyah di dalam Jilbab al-Mar’atil Muslimah fii Kitabi wa as-Sunnah, 1412H, m/s. 166, al-Albani)
Berkenaan hadis tersingkapnya gelang-gelang kaki wanita di dalam perang Uhud, iaitu sebagaimana hadis daripada Anas radhiyallahu ‘anhu, dia berkata:
“Ketika waktu perang Uhud, kaum muslimin berada dalam keadaan kucar-kacir meninggalkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam, sedangkan abu Thalhah berdiri di hadapan beliau Shallallahu ‘alaihi wa Salam melindungi dengan perisai dari kulit miliknya. Aku lihat ‘Aisyah binti Abu Bakar dan Ummu Sulaim berjalan tergesa-gesa. Aku melihat gelang-gelang kaki mereka ketika keduanya melompat-lompat sambil membawa bekas air di pinggangnya dan menuangkan bekas air tersebut ke mulut-mulut kaum muslimin...” (Hadis Riwayat al-Bukhari, 7/290. Muslim, 5/197)
Al-Hafiz Ibnu Hajar al-Asqalani berkata: “Siatusi tersebut terjadi sebelum turunnya ayat perintah menutup aurat (ayat hijab). (Dalam keadaan seperti itu) Mungkin juga ia terjadi tanpa mereka sengajakan.” (al-Albani, Jilbab al-Mar’atil Muslimah fii Kitabi wa as-Sunnah, 1412H, m/s. 166)
Sumber :FIQH & SUNNAH
Nasi Dagang dIrbid
Alhamdulillah, hari ni turn saya masak, dptlah try masak nasi dagang...Walaupun tak cukup bahan, guna je apa yg ada. Alhamdulillah, ada je rasa nasi dagang tu..hehe.
Nasi Dagang Terengganu
Sumber : minami133 kat myresipi
Bahan-bahannya:
# **NASI**
# 4 cawan beras biasa + 1 cawan beras pulut
# 1/2 tin santan
# garam dan gula
# 1 sudu besar halba
# bawang dan halia (hiris halus2)
# air
Cara2nya :
Beras dibasuh dan direndam 1 malam. Panaskan air. Tunggu sehingga air mendidih. Masukkan beras dalam pengukus dan kukus sehingga wap naik. Biarkan seketika selama 5-10 minit. Angkat dan pindahkan ke dalam bekas yang besar. Masukkan air atau santan cair sehingga beras tersebut kembang dan garam secukup nya. Kukus buat kali kedua. Masukkan nasi ke dalam pengukus dan kukus sehingga naik wap. Biarkan seketika. Setelah itu, angkat dan pindahkan ke dlm bekas. masukkan gula dan santan yg dibancuh dengan sedikit air. Akhir sekali masukkan halba, bawang dan halia.
- Diolehkeranakan ketiadaan pengukus, saya masak nasi macam biasa la..:). Campur semua dan masak macam nasi lemak je.
- Beras saya guna 1 cawan beras thailand + 1 cawan beras mansaf ( kenapa nak guna beras pulut? sy pon tak tahu. Inipun kawan yg bgtau guna beras mansaf pasal beras ni macam beras pulut.
Ada satu lagi resipi yg tak guna beras pulut:
Sumber :yani kat myresipi
Bahan-bahan ( 6 orang )
* 4 cawan beras jasmen
* 1 tin(400ml) santan pekat
* 4-5 ulas bawang putih-dimayang
* 1cm halia - hiris macam bilah mancis
* 1 sudu kecil halba
* garam
* gula
Cara-cara
1. Bersih beras dan rendam. Sekurang-kurangnya 4 jam
2. Ambik 1/4 tin santan. Tambahkan 1/4 cawan air untuk jadikan santan cair. 3/4 tin santan lagi jadikan sebagai santan pekat.
3. Masak santan pekat bersama bawang, halba, garam dan gula sehingga gula/garam hancur. Jangan biarkan terlalu lama. Nanti nasi akan rasa cepat muak.
4. Toskan beras. Kukus sekejap lebih kurang 5 minit. Kemudian angkat dan gaulkan dengan santan cair. Kukus semula sehingga nasi masak.
5. Bila nasi dah masak, angkat dan gaul pula dengan santan pekat. Kukus semula dalam 5 minit.
6. Bila dah siap bolehlah dihidangkan bersama gulai ikan tongkol atau kari ayam.
Acar
# 2 batang timun
# 1 batang lobak merah
# 1/2 biji bawang besar
# 1 biji lada besar
# cuka, garam, gula (instead of cuka, sy tukar lemon)
Cara:
Timun dan lobak dihiris panjang2. Bawang dan lada dimayang. Campur ke semua bhn2 tersebut ke dalam bekas. Masukkan perahan lemon, garam dan gula. Simpan di dalam peti untuk seketika.
Gulai ikan nasi dagang
Sumber, c/p dari: ummizaihadi
Bahan:-
4 ekor ikan tongkol besar (direbus bersama satu keping gula nisan, segenggam asam gelugur dan garam secukup rasa. Air rebusan disimpan untuk digunakan dalam kuah nanti) - * Ummi wat 1 ekor jek. (tengok kat sebelah bahan asal, ummi punya sukatan ek)
Untuk Kuah:-
-1 senduk nasi penuh serbuk ketumbar (1 sudu besar)
-1/2 senduk nasi serbuk jintan manis (1 sudu besar)
-segenggam lengkuas yang dihiris (2 cm)
-1 inci kunyit hidup/ 1 sudu besar kunyit serbuk (1 inci)
-1 labu bawang putih (yang besar) (4 ulas)
-2 inci halia (1 inci)
-3/4 kilo bawang merah/lebih (8 ulas)
-1 1/2 bungkus cili boh (yang RM1.20 sebungkus) (4 sudu besar)
-kerisik dari 1/2 biji kelapa (3 sudu besar)
-4 keret/keping besar gula nisan - bulatan +- 4 inci (1/2 keping je)
-santan dari 4 biji kelapa (jangan terlalu cair) (2 cawan)
-2 inci kulit kayu manis (1 inci)
Cara Memasak:-
Semua bahan untuk kuah diblend, kecuali kerisik, gula nisan, santan dan kulit kayu manis. Masak santan sehingga naik minyak sedikit (dikacau selalu atas api perlahan), barulah dituangkan bahan kisar diikuti kerisik, gula nisan dan kulit kayu manis. Masak biar lama (api perlahan). Bila santan telah surut separuh, masukkan sedikit air lagi hingga paras pertama tadi dan masak lagi biar surut separuh. Kemudian barulah dimasukkan ikan yang telah direbus tadi serta separuh dari asam gelugor rebus tadi. Tambahkan air rebusan hingga ke paras pertama tadi dan masak dengan api perlahan (reneh) sehingga kuah agak pekat dan kacau sekali sekala sahaja agar ikan tidak hancur. (masak kuah hingga 7 jam dan kuah akan bertukar menjadi gelap dan tulang ikan akan reput macam sardin tu...* tapi Ummi masak sekejap je lah hingga ikan benar2 lembut je dalam 1 jam lebih sikit je..xyah reput tulang laa..perut pun lapar dah aihh).
- Saya guna ikantakdenama..hehe tapi asalnya kalau tak silap dengar p.cik arab tu kata argentina mari, (ye ke?)takde rebus dh pasal isi ikan tu lembut dan tak isi lengkuas pasal memang takde la kat sini..he he.
- Dan saya guna gula perang, tak dak gula nisan.Masak pun dalam 1 jam je.
Saturday, 25 September 2010
What to say when something bad happened?
Love this.
Rasulullah shallahu 'alaihi wassaalm bersabda: "Tidaklah seorang mukmin tertimpa musibah lalu ia membaca apa yang telah diperintah oleh Allah,
إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ اللَّهُمَّ أْجُرْنِي فِي مُصِيبَتِي وَأَخْلِفْ لِي خَيْرًا مِنْهَا
melainkan Allah menukar baginya dengan yang lebih baik" [HR Muslim no. 1526]
Hadis penuh nya adalah spt dibawah, iaitu yang diriwayatkan oleh Ummu Salamah dari Nabi shallahu 'alaihi wassalam.
Ibnu Safinah menceritakan bahwa ia mendengar Ummu Salamah isteri Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berkata; Saya mendengar Ras...ulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
مَا مِنْ عَبْدٍ تُصِيبُهُ مُصِيبَةٌ فَيَقُولُ
{ إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ }
اللَّهُمَّ أْجُرْنِي فِي مُصِيبَتِي وَأَخْلِفْ لِي خَيْرًا مِنْهَا إِلَّا أَجَرَهُ اللَّهُ فِي مُصِيبَتِهِ وَأَخْلَفَ لَهُ خَيْرًا مِنْهَا قَالَتْ فَلَمَّا تُوُفِّيَ أَبُو سَلَمَةَ قُلْتُ كَمَا أَمَرَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخْلَفَ اللَّهُ لِي خَيْرًا مِنْهُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
و حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ نُمَيْرٍ حَدَّثَنَا أَبِي حَدَّثَنَا سَعْدُ بْنُ سَعِيدٍ أَخْبَرَنِي عُمَرُ يَعْنِي ابْنَ كَثِيرٍ عَنْ ابْنِ سَفِينَةَ مَوْلَى أُمِّ سَلَمَةَ عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ بِمِثْلِ حَدِيثِ أَبِي أُسَامَةَ وَزَادَ قَالَتْ فَلَمَّا تُوُفِّيَ أَبُو سَلَمَةَ قُلْتُ مَنْ خَيْرٌ مِنْ أَبِي سَلَمَةَ صَاحِبِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ عَزَمَ اللَّهُ لِي فَقُلْتُهَا قَالَتْ فَتَزَوَّجْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
"Tidaklah seorang mukmin tertimpa musibah lalu ia membaca apa yang telah diperintahkan oleh Allah, 'INAA LILLAHI WAINNAA ILAIHI RAAJI'UUN ALLAHUMMA`JURNII FII MUSHIIBATI WA AKHLIF LII KHAIRAN MINHAA (Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan akan kembali kepada Allah. Ya Allah, berilah kami pahala karena mushibah ini dan tukarlah bagiku dengan yang lebih baik daripadanya).' melainkan Allah menukar baginya dengan yang lebih baik." Ummu Salamah berkata; Ketika Abu Salamah telah meninggal, maka saya pun membaca sebagaimana yang diperintahkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, lalu Allah pun menggantikannya untukku dengan yang lebih baik darinya yaitu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Dan telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abdullah bin Numair telah menceritakan kepada kami bapakku telah menceritakan kepada kami Sa'd bin Abu Sa'id telah mengabarkan kepadaku Umar bin Katsir dari Ibnu Safinah Maula Ummu Salamah, dari Ummu Salamah isteri Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, ia berkata; Saya mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, yakni serupa dengan haditsnya Abu Usamah, dan ia menambahkan; (Ummu Salamah) berkata, "Siapakah yang lebih baik dari Abu Salamah sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, kemudian Allah pun mengokohkan hatiku untuk mengucapkannya. Lalu aku pun menikah dengan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam." [HR Muslim no. 1526]
Saya copy dekat sini.
Roti Canai
Alhamdulillah, pagi tadi dapat buat roti canai. Bagi saya rasa dia dah lembut dan tak perlu tebar cuma tarik nipis2 je, sedap alhamdulillah. Makan dengan sambal ikan bilis dan kuah dal. Meh tengok resipi dan cuba insha Allah senang je, :)
Roti Canai
sumber :joayee kat myresipi
Bahan-bahannya:
550gm tepung gandum (5 cawan)
1 biji telur (50gm)
1 sd teh garam (6gm)
3 sd susu pekat (60gm=60ml, saya isi gula halus dan air 60 ml)
1 sd kecil marjerin (15gm)
250 ml air
1-2 sd kecil tepung gandum ( tambah kalau lembik masa menguli)
Cara-caranya:
1> Firstly, campur semua kecuali tepung gandum sehingga sebati.
2> Masukkan tepung gandum.
3> Uli sampai jadi doh.
4> Rehat 10 minit.
5> Uli 5 minit.
6> Ulang step 4 dan 5 sebanyak 3 kali.
7> Masa first time uli, jgn risau kalau doh macam agak lembik, lama2 lps 3rd time
uli, doh dah tak lekat. Tapi bila 2nd time uli doh agak lembik, boleh la isi 1sd
kecil tpung gandum.( saya 1st time uli tu dh tmbh tpung, ok je jadi,alhamdulillah
la.)
8> Bentuk bulat2, sapu dgn minyak sikit, perap selama 3 jam atau lebih. (saya tak
perap pun, takut tak sempat, tetamu dah hampir nak smpai,he. alhamdulillah lembut
n ok je:) )
- saya tak tulis part guna breadmaker. selamat mencuba!
Kuah dal:
Sumber :s_shamen, myresipi
Bahan:
1 cawan kacang dal
1 sd kecil serbuk kunyit.
Air secukupnya untuk rebus.
1 biji kentang
1 btg lobak.
1 biji terung.
Sedikit kacang panjang
3 biji cili hijau ( potong tak perlu nipis sangat ye)
Sedikit bunga cengkih, bunga lawang dan kulit kayu manis.
1 biji bawang besar @ 6 bj bawang merah. (dunayang)
3 ulas bawang putih(diracik)
2 inci halia (diracik)
Sedikit daun kari dan biji sawi (tak letak sebab tak ada)
Garam and gula sesedap rasa.
Cara-caranya:
1> Rebus kacang dal dan isi serbuk kunyit sampai empuk.
2> Isi kentang, lobak, biar sampai empuk.
3> Then isi sayur lain.
4> Kat kuali lain, tumis bunga cengkih, bunga lawang dan klit kayu mnis dgn bawang
sampai garing kemudian isi dalam rebusan kacang dal tadi. Isi garam dan gula
sesedap rasa. Kacau sedikit. Siap dihidang!
Sambal ikan bilis.
Sumber:junjis myresipi
Segenggam ikan bilis.
6sd lada kering kisar.
3 ulas bwg putih
2 biji bawang besar ( sebiji dimayang, another dikisar)
1 keping asam keping
Cara-cara:
1> Kisar semua b/merah sebiji, b/putih, lada kering, ikan bilis sedikit.
2> Tumis bahan kisar sampai warna agak maroon, pecah minyak.
3> Then bubuh b/merah yg dimayang dengan ikan bilis tadi. Isi garam, gula sesedap
rasa. Siap!, insha Allah.
- Actually ni sambal nasi lemak sebenarnya, ambil resipi k.fiza kat myresipi tak
silap. Sedap kena je dgn ni.
- May Allah bless always for the giver for giving all of this lovely recipe. <3
Roti Canai
sumber :joayee kat myresipi
Bahan-bahannya:
550gm tepung gandum (5 cawan)
1 biji telur (50gm)
1 sd teh garam (6gm)
3 sd susu pekat (60gm=60ml, saya isi gula halus dan air 60 ml)
1 sd kecil marjerin (15gm)
250 ml air
1-2 sd kecil tepung gandum ( tambah kalau lembik masa menguli)
Cara-caranya:
1> Firstly, campur semua kecuali tepung gandum sehingga sebati.
2> Masukkan tepung gandum.
3> Uli sampai jadi doh.
4> Rehat 10 minit.
5> Uli 5 minit.
6> Ulang step 4 dan 5 sebanyak 3 kali.
7> Masa first time uli, jgn risau kalau doh macam agak lembik, lama2 lps 3rd time
uli, doh dah tak lekat. Tapi bila 2nd time uli doh agak lembik, boleh la isi 1sd
kecil tpung gandum.( saya 1st time uli tu dh tmbh tpung, ok je jadi,alhamdulillah
la.)
8> Bentuk bulat2, sapu dgn minyak sikit, perap selama 3 jam atau lebih. (saya tak
perap pun, takut tak sempat, tetamu dah hampir nak smpai,he. alhamdulillah lembut
n ok je:) )
- saya tak tulis part guna breadmaker. selamat mencuba!
Kuah dal:
Sumber :s_shamen, myresipi
Bahan:
1 cawan kacang dal
1 sd kecil serbuk kunyit.
Air secukupnya untuk rebus.
1 biji kentang
1 btg lobak.
1 biji terung.
Sedikit kacang panjang
3 biji cili hijau ( potong tak perlu nipis sangat ye)
Sedikit bunga cengkih, bunga lawang dan kulit kayu manis.
1 biji bawang besar @ 6 bj bawang merah. (dunayang)
3 ulas bawang putih(diracik)
2 inci halia (diracik)
Sedikit daun kari dan biji sawi (tak letak sebab tak ada)
Garam and gula sesedap rasa.
Cara-caranya:
1> Rebus kacang dal dan isi serbuk kunyit sampai empuk.
2> Isi kentang, lobak, biar sampai empuk.
3> Then isi sayur lain.
4> Kat kuali lain, tumis bunga cengkih, bunga lawang dan klit kayu mnis dgn bawang
sampai garing kemudian isi dalam rebusan kacang dal tadi. Isi garam dan gula
sesedap rasa. Kacau sedikit. Siap dihidang!
Sambal ikan bilis.
Sumber:junjis myresipi
Segenggam ikan bilis.
6sd lada kering kisar.
3 ulas bwg putih
2 biji bawang besar ( sebiji dimayang, another dikisar)
1 keping asam keping
Cara-cara:
1> Kisar semua b/merah sebiji, b/putih, lada kering, ikan bilis sedikit.
2> Tumis bahan kisar sampai warna agak maroon, pecah minyak.
3> Then bubuh b/merah yg dimayang dengan ikan bilis tadi. Isi garam, gula sesedap
rasa. Siap!, insha Allah.
- Actually ni sambal nasi lemak sebenarnya, ambil resipi k.fiza kat myresipi tak
silap. Sedap kena je dgn ni.
- May Allah bless always for the giver for giving all of this lovely recipe. <3
Friday, 24 September 2010
Syahadah- being a Muslim is a great happiness.
Read more of what Shaykh Yasir Qadhi feels about it at MM.
Alhmdulillah, I am a Muslim. Islam is a gift from Allah. Being a Muslim is a precious and great happiness in ones life.
Appreciate our Islam as the deen that encompass our way in this life. Be happy and content with it. What brings more happiness to we than Islam is our deen, Allah is our God, the Sustainer, the Nourisher and Muhammad S.A.W is our prophet; the best example of kind deed and great value of human being.
Contrary, nowadays, you see people searching their happiness and tranquility in various ways. Songs, music with lyrics that adore another human being more than their Creator, so much movies, unlawful relationship despite of husband and wife. You can list it by yourself. And more hurting, people with their deen is Islam use unlawful thing to enjoy and be happy in their life.
We ask Allah to make Islam and eeman to be our peace in heart. We ask Allah to make all our beloved family feel the same and all muslimin and muslimat. We ask Allah to make us strong and able to help ourselves struggle in this life to achieve taqwa and grab others hand too before we all together sank and end with Allah's anger.
When i see the video up there, my tears flow. I feel the tremble that Yasir Qadhi and Dana feels. The feeling the feeling of happiness. Trembling. The feeling of said that there is no god worthy of worship except Allah and Muhammad is the messenger of Allah. The feeling make me realize the beautiful of syahadah and being a muslim. It it so nice!
And another thing, i am jealous of Sy.Yasir Qadhi of being bless from Allah the chance to make others feels that Islam is beautiful. He can attract them and bring them to islam.
I am jealous to Dana of having the feeling of appreciate Islam so much.
And now my eyes watered again.
Indeed, the most beatiful word in our life is saying "Asyhadu alla ilaha illa Allah wa asyhadu anna muhammadan rasullullah" i witness that there is no deity worthy of worship except Allah and Muhammad is the Messenger of Allah.
Boonaa Mohammed - Priorities
He cry,
And my tears watered in my eyes to see him,
right there,
he speaks what in his heart,
and me jealous with him,
he feels that way,
and when everything he says,
change every hearts that listen to it,
May Allah protects him from evil and keep his faith high,
Masuk sekolah.
kelas sem lepas
Alhamdulillah, 19/9/10 yang lepas saya dan kawan-kawan selamat memasuki tahun akhir ijazah EkOnomi dan Perbankan Islam dengan selamat walaupun ada kawan-kawan yang menghadapi masalah untuk tasjil madah termasuklah saya. Namun Alhamdulillah, dengan izin Allah S.W.T subjek yang diingini diperoleh. Moga Allah permudahkan jalan mencari ilmu ini buat kami semua. Mengharapkan pertolongan dan rahmat Allah untuk menutup sem ini dengan muaddal yang meningkat dan ilmu diberkati.
Sem ini saya tasjil subjek:
1. Feqh Muamalat~ Dr.
2. Tilawah wal Hifdz~ Dr. Manal
- saya sorang je peljar Melayu dalam kelas tu.
3. Nusus Islamiah billughah injiliziah~ Dr. Ahlam Mutholaqoh
4. Lughah 'Arabiah 2~ Dr. tak masuk kelas lagi n saya sorang juge.
5. Fikr Masrofiy Islamiyy~ Dr. Ibrahim Ubadah
Ya Allah, Engkau permudahkanlah perjalanan kami menuntut ilmu ini. Ampunkan dosa kami. Jangan biarkan kami dibelenggu dengan dosa. Jauhkan kami dgn dosa seperti mana jauhnya barat dan timur. Kasihanilah kami. Terangkan hati kami untuk belajar ilmu Mu. Robbi yassir wala tuassir ya Allah.
Alhamdulillah, 19/9/10 yang lepas saya dan kawan-kawan selamat memasuki tahun akhir ijazah EkOnomi dan Perbankan Islam dengan selamat walaupun ada kawan-kawan yang menghadapi masalah untuk tasjil madah termasuklah saya. Namun Alhamdulillah, dengan izin Allah S.W.T subjek yang diingini diperoleh. Moga Allah permudahkan jalan mencari ilmu ini buat kami semua. Mengharapkan pertolongan dan rahmat Allah untuk menutup sem ini dengan muaddal yang meningkat dan ilmu diberkati.
Sem ini saya tasjil subjek:
1. Feqh Muamalat~ Dr.
2. Tilawah wal Hifdz~ Dr. Manal
- saya sorang je peljar Melayu dalam kelas tu.
3. Nusus Islamiah billughah injiliziah~ Dr. Ahlam Mutholaqoh
4. Lughah 'Arabiah 2~ Dr. tak masuk kelas lagi n saya sorang juge.
5. Fikr Masrofiy Islamiyy~ Dr. Ibrahim Ubadah
Ya Allah, Engkau permudahkanlah perjalanan kami menuntut ilmu ini. Ampunkan dosa kami. Jangan biarkan kami dibelenggu dengan dosa. Jauhkan kami dgn dosa seperti mana jauhnya barat dan timur. Kasihanilah kami. Terangkan hati kami untuk belajar ilmu Mu. Robbi yassir wala tuassir ya Allah.
Tuesday, 21 September 2010
Ayam Perap Masak Merah Madu
Hehehe. Mengada-ngada nak letak resipi juga, dah lama tak pos apa2 kat sini. Semenjak duamenjak ni byk pergi blog2 dgn web yg sangat mantap,,tentang masakan..hehe. Very inspiring..nguehehe. Ni salah satu masakan yg pernah dicuba dan sedap la jg..Saya ni baru je belajar2 memasak..baru je kenal nama, muka rempah ratus cam 4 bradik dan sepupu-sepapatnya. Ada ke patut tapi okeylah daripada tak kenal langsung kan..:)
Resipi ni jumpa kat sini Sangat best la blog ni. Byk info menarik boleh dpt.
Ayam Perap Masak Merah Madu
Sumber asal: Majalah Saji
Bahan2 nya:
* 1 ekor ayam - potong 10 bahagian
* 2 sb. rempah kari ayam
* 1 sb. serbuk kunyit
* 6 ulas bawang putih (ditumbuk)
* 2 inci halia (ditumbuk)
* 2 labu bawang besar (dikisar)
* 2 sb. cili kering kisar (nak pedas tmbah lg)
* 5 sb. madu
* 1 sudu besar gula merah
* 2 sb. puri tomato (kak ummi dy letak 4 sb.)
* garam secukup rasa
* 1 labu bawang besar - dipotong nipis bulat
Cara Memasak:-
1. Ayam dibersihkan dan ditoskan. Gaulkan bersama bahan halia, bawang putih, kunyit, rempah kari dan perisakan dengan garam. Perap ayam selama 2 jam (akak lebih 4 jam..hehee)
2. Keluarkan ayam dari bahan perapan dan goreng hingga masak. (lebihan bahan perapan akan digunakan sebagai bumbu kuah)
3. Panaskan minyak dalam kuali, dan tumiskan. Masukkan bahan bumbu perapan dan cili kisar. Masak hingga garing.
4. Masukkan gula, madu, puri tomato dan kacau. Masukkan sedikit air dan kacau lagi.
5. Apabila kuah sudah mendidih dan sedikit pekat, masukkan ayam.
6. Biarkan kuah mesra dengan ayam sambil dibalik-balikkan ayam dengan api sederhana.
7. Perlahankan api dan biarkan reneh sekejap hingga naik minyak dan kuah pekat.
8. Angkat dan hidangkan dengan nasi minyak atau nasi putih.
- Gambar ada tapi nanti lah letak, nak bersiap solat dan pergi kelas feqh muamalat.
Resipi ni jumpa kat sini Sangat best la blog ni. Byk info menarik boleh dpt.
Ayam Perap Masak Merah Madu
Sumber asal: Majalah Saji
Bahan2 nya:
* 1 ekor ayam - potong 10 bahagian
* 2 sb. rempah kari ayam
* 1 sb. serbuk kunyit
* 6 ulas bawang putih (ditumbuk)
* 2 inci halia (ditumbuk)
* 2 labu bawang besar (dikisar)
* 2 sb. cili kering kisar (nak pedas tmbah lg)
* 5 sb. madu
* 1 sudu besar gula merah
* 2 sb. puri tomato (kak ummi dy letak 4 sb.)
* garam secukup rasa
* 1 labu bawang besar - dipotong nipis bulat
Cara Memasak:-
1. Ayam dibersihkan dan ditoskan. Gaulkan bersama bahan halia, bawang putih, kunyit, rempah kari dan perisakan dengan garam. Perap ayam selama 2 jam (akak lebih 4 jam..hehee)
2. Keluarkan ayam dari bahan perapan dan goreng hingga masak. (lebihan bahan perapan akan digunakan sebagai bumbu kuah)
3. Panaskan minyak dalam kuali, dan tumiskan. Masukkan bahan bumbu perapan dan cili kisar. Masak hingga garing.
4. Masukkan gula, madu, puri tomato dan kacau. Masukkan sedikit air dan kacau lagi.
5. Apabila kuah sudah mendidih dan sedikit pekat, masukkan ayam.
6. Biarkan kuah mesra dengan ayam sambil dibalik-balikkan ayam dengan api sederhana.
7. Perlahankan api dan biarkan reneh sekejap hingga naik minyak dan kuah pekat.
8. Angkat dan hidangkan dengan nasi minyak atau nasi putih.
- Gambar ada tapi nanti lah letak, nak bersiap solat dan pergi kelas feqh muamalat.
Subscribe to:
Posts (Atom)