Telah berlalu Ramadhan, kini sudah Syawal. Puasa 6 tak habis lagi. erk. Jom buat..
Bulan yang penuh berkah telah berlalu. Bulan yang akan menjadi saksi yang akan membela setiap orang yang bersungguh-sungguh dalam mengerjakan ketaatan kepada Allah atau justru menjadi saksi yang akan menghujat setiap orang yang memandang remeh bulan Ramadlan.
Kat sini saya c/p bacaan yg boleh dimanfaatkan sama2 ye,,
Oleh karena itu, hendaknya diri kita masing-masing membuka pintu muhasabah terhadap diri kita. Amalan apakah yang kita kerjakan di bulan tersebut? Apakah faedah dan buah yang kita petik pada bulan Ramadlan tersebut? Apakah pengaruh bulan Ramadlan tersebut terhadap jiwa, akhlak dan perilaku kita?
Kondisi Salafush Shalih Selepas Ramadlan
Pertanyaan yang teramat mendesak untuk dijawab oleh diri kita masing-masing adalah, ”Setelah Ramadlan berlalu, sudahkah kita menunaikan berbagai sebab yang akan mempermudah amalan kita di bulan Ramadlan diterima di sisi-Nya dan sudahkah kita bertekad untuk terus melanjutkan berbagai amalan ibadah yang telah kita galakkan di bulan Ramadlan?”
Tidakkah kita meneladani generasi sahabat (salafush shalih), dimana hati mereka merasa sedih seiring berlalunya Ramadlan. Mereka merasa sedih karena khawatir bahwa amalan yang telah mereka kerjakan di bulan Ramadlan tidak diterima oleh Allah ta’ala. Sebagian ulama salaf mengatakan,
كَانُوا يَدْعُوْنَ اللهَ سِتَّةَ أَشْهُرٍ أَنْ يَبْلُغَهُمْ شَهْرَ رَمَضَانَ ثُمَّ يَدْعُوْنَ اللهَ سِتَّةَ أَشْهُرٍ أَنْ يَتَقَبَّلَهُ مِنْهُمْ
”Mereka (para sahabat) berdo’a kepada Allah selama 6 bulan agar mereka dapat menjumpai bulan Ramadlan. Kemudian mereka pun berdo’a selama 6 bulan agar amalan yang telah mereka kerjakan diterima oleh-Nya.” (Lathaaiful Ma’arif hal. 232).
Oleh karena itu, para salafush shalih senantiasa berkonsentrasi dalam menyempurnakan dan menekuni amalan yang mereka kerjakan kemudian setelah itu mereka memfokuskan perhatian agar amalan mereka diterima karena khawatir amalan tersebut ditolak.
’Ali bin Abi Thalib radliallahu ‘anhu mengatakan,
كُوْنُوْا لِقَبُوْلِ اْلعَمَلِ أَشَدَّ اهْتِمَامًا مِنْكُمْ بِاْلعَمَلِ أَلَمْ تَسْمَعُوْا اللهَ عَزَّ وَ جَلَّ يَقُوْلُ : ]إِنَّمَا يَتَقَبَلُ اللهُ مِنَ اْلمُتَّقِيْنَ[
”Hendaklah kalian lebih memperhatikan bagaimana agar amalan kalian diterima daripada hanya sekedar beramal. Tidakkah kalian menyimak firman Allah ’azza wa jalla, [إِنَّمَا يَتَقَبَلُ اللهُ مِنَ اْلمُتَّقِيْنَ] “Sesungguhnya Allah hanya menerima (amalan) dari orang-orang yang bertakwa.” (Al Maaidah: 27).” (Lathaaiful Ma’arif: 232).
Demikianlah sifat yang tertanam dalam diri mereka. Mereka bukanlah kaum yang merasa puas dengan amalan yang telah dikerjakan. Mereka tidaklah termasuk ke dalam golongan yang tertipu akan berbagai amalan yang telah dilakukan. Akan tetapi mereka adalah kaum yang senantiasa merasa khawatir dan takut bahwa amalan yang telah mereka kerjakan justru akan ditolak oleh Allah ta’ala karena adanya kekurangan. Demikianlah sifat seorang mukmin yang mukhlis dalam beribadah kepada Rabb-nya. Allah ta’ala telah menyebutkan karakteristik ini dalam firman-Nya,
وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَى رَبِّهِمْ رَاجِعُونَ (٦٠)
”Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Rabb mereka.” (Al Mukminun: 60).
Ummul Mukminin, ’Aisyah radliallahu ‘anha ketika mendengar ayat ini, beliau merasa heran dikarenakan tabiat asli manusia ketika telah mengerjakan suatu amal shalih, jiwanya akan merasa senang. Namun dalam ayat ini Allah ta’ala memberitakan suatu kaum yang melakukan amalan shalih, akan tetapi hati mereka justru merasa takut. Maka beliau pun bertanya kepada kekasihnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
أَهُمُ الَّذِينَ يَشْرَبُونَ الْخَمْرَ وَيَسْرِقُونَ
“Apakah mereka orang-orang yang meminum khamr dan mencuri?”
Maka rasulullah pun menjawab,
لَا يَا بِنْتَ الصِّدِّيقِ وَلَكِنَّهُمْ الَّذِينَ يَصُومُونَ وَيُصَلُّونَ وَيَتَصَدَّقُونَ وَهُمْ يَخَافُونَ أَنْ لَا يُقْبَلَ مِنْهُمْ أُولَئِكَ الَّذِينَ يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ
”Tidak wahai ’Aisyah. Mereka adalah orang-orang yang berpuasa, menegakkan shalat dan bersedekah akan tetapi mereka merasa takut amalan yang telah mereka kerjakan tidak diterima di sisi Allah. Mereka itulah golongan yang senantiasa berlomba-lomba dalam mengerjakan kebajikan.” (HR. Tirmidzi nomor 3175. Imam Al Albani menshahihkan hadits ini dalam Shahihut Tirmidzi nomor 2537).
Kontinu dalam Beramal Shalih Selepas Ramadlan
Sebagian orang bijak mengatakan,
مِنْ ثَوَابِ الْحَسَنَةِ اَلْحَسَنَةُ بَعْدَهَا وَمِنْ عُقُوْبَةِ السَّيِّئَةِ اَلسَّيِّئَةُ بَعْدَهَا
“Diantara balasan bagi amalan kebaikan adalah amalan kebaikan yang ada sesudahnya. Sedangkan hukuman bagi amalan yang buruk adalah amalan buruk yang ada sesudahnya.” (Al Fawaa-id hal. 35).
”Oleh karena itu barangsiapa mengerjakan kebaikan kemudian melanjutkannya dengan kebaikan lain, maka hal itu merupakan tanda atas terkabulnya amal pertama. Demikian pula sebaliknya, jika seorang melakukan suatu kebaikan lalu diikuti dengan amalan yang buruk maka hal itu merupakan tanda tertolaknya amal yang pertama.” (Lathaaiful Ma’arif hal. 244).
Melanjutkan berbagai amalan yang telah digalakkan di bulan Ramadlan menandakan diterimanya puasa Ramadhan, karena apabila Allah ta’ala menerima amal seorang hamba, pasti Dia menolongnya dalam meningkatkan perbuatan baik setelahnya. Bukankah Allah ta’ala berfirman,
فَأَمَّا مَنْ أَعْطَى وَاتَّقَى .وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَى .فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَى
”Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (syurga). Maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah.” (Al Lail: 5-7).
Termasuk sebagian ungkapan rasa syukur seorang hamba atas berbagai nikmat yang telah dianugerahkan kepadanya adalah terus menggalakkan berbagai amalan shalih yang telah ia lakukan setelah Ramadhan. Tetapi jika ia malah menggantinya dengan perbuatan maksiat maka ia termasuk kelompok orang yang membalas kenikmatan dengan kekufuran. Apabila ia berniat pada saat melakukan puasa untuk kembali melakukan maksiat lagi, maka puasanya tidak akan terkabul, ia bagaikan orang yang membangun sebuah bangunan megah lantas menghancurkannya kembali. Allah ta’ala berfirman:
وَلا تَكُونُوا كَالَّتِي نَقَضَتْ غَزْلَهَا مِنْ بَعْدِ قُوَّةٍ أَنْكَاثًا (٩٢)
“Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat menjadi cerai berai kembali “(An-Nahl: 92).
Beberapa Amal Shalih Selepas Ramadlan
Saudara sekalian, sekalipun bulan suci Ramadlan telah berakhir, namun amalan seorang mukmin tidak akan berakhir sebelum ajal datang menjemput. Allah ta’ala berfirman,
وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ (٩٩)
”Dan sembahlah Rabb-mu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal).” (Al Hijr: 99).
Jika bulan Ramadlan telah berlalu, maka seorang mukmin tidak akan terputus dalam melakukan ibadah puasa, karena sesungguhnya puasa itu terus disyari’atkan sepanjang tahun. Seorang mukmin masih bisa mengerjakan berbagai macam amalan puasa selepas Ramadlan. Diantaranya adalah puasa sebanyak enam hari di bulan Syawwal. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ
”Siapa yang mengerjakan puasa Ramadlan, kemudian dilanjutkan dengan enam hari puasa di bulan Syawwal, maka itu adalah seperti puasa sepanjang tahun.” (HR. Muslim nomor 1164).
Demikian pula, seorang mukmin masih bisa mengerjakan puasa sunnah sebanyak tiga hari di setiap bulannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ثَلاَثٌ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ ، وَرَمَضَانُ إِلىَ رَمَضَانَ فَهَذَا صِيَامُ الدَّهْرِ
”Tiga hari (puasa) setiap bulan, puasa Ramadlan ke Ramadlan berikutnya, maka ini adalah seperti puasa sepanjang zaman.” (HR. Al Baihaqi nomor 3844 dalam Syu’abul Iman).
Begitupula seorang mukmin masih bisa mengerjakan puasa Senin-Kamis. Dan masih banyak puasa sunnat lainnya yang bisa dikerjakan seorang mukmin.
Jika amalan shalat malam atau shalat tarawih di malam Ramadlan telah berlalu, maka ketahuilah bahwa shalat malam masih terus disyari’atkan pada setiap malam sepanjang tahun. Tidakkah kita mencontoh nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang senantiasa mengerjakan shalat malam hingga kedua telapak kaki beliau bengkak. Semua itu beliau lakukan untuk bersyukur kepada Rabb-nya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ ! أَفْشُوْا السَّلاَمَ وَ أَطْعِمُوْا الطَّعَامَ وَ صَلُّوْا اْلأَرْحَامَ وَ صَلُّوْا بِاللَّيْلِ وَ النَّاسُ نِيَامٌ تَدْخُلُوْا الْجَنَّةَ بِسَلاَمٍ
“Wahai manusia, sebarkanlah salam, berikanlah makanan, sambunglah kekerabatan dan tunaikanlah shalat malam di kala manusia tengah tertidur, niscaya kalian akan memasuki surga dengan damai.” (HR. Hakim nomor 7277. Dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahihul Jami’ nomor 7865).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
أَفْضَلُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلَاةُ اللَّيْلِ
”Shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat malam.” (HR. Muslim nomor 1163).
Di samping itu ada juga berbagai amalan shalat sunnah Rawatib yang berjumlah dua belas raka’at, yaitu empat raka’at sebelum shalat Zhuhur dan dua raka’at sesudahnya, dua raka’at sesudah Maghrib, dua raka’at sesudah Isya’ dan dua raka’at sebelum Subuh. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا مِنْ عَبْدٍ مُسْلِمٍ يُصَلِّي لِلَّهِ كُلَّ يَوْمٍ ثِنْتَيْ عَشْرَةَ رَكْعَةً تَطَوُّعًا غَيْرَ فَرِيضَةٍ إِلَّا بَنَى اللَّهُ لَهُ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ
”Seorang hamba yang senantiasa mengerjakan shalat karena Allah pada setiap harinya sebanyak dua belas raka’at dalam bentuk shalat sunnah dan bukan termasuk shalat wajib, maka niscaya Allah akan membangunkan baginya sebuah rumah di dalam surga.” (HR. Muslim nomor 728).
Seorang mukmin juga akan senantiasa berdzikir kepada Allah ta’ala dengan berbagai dzikir yang dituntunkan oleh nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di setiap kesempatan. Begitupula dengan berbagai amalan kebajikan yang lain seperti bersedekah, membaca Al Qur-an, dan lain sebagainya, selayaknya dilakukan oleh seorang mukmin di luar bulan Ramadlan.
Janganlah kita menjadi orang-orang yang merayakan hari ‘Iedul Fitri dengan penuh suka cita kemudian melupakan dan meninggalkan berbagai amalan yang telah digalakkan di bulan Ramadlan.
Wahb ibnul Wardi pernah melihat sekelompok orang yang bersuka cita dan tertawa di hari ‘Iedul Fitri. Beliau pun lantas mengatakan,
إِنْ كَانَ هَؤُلاَءِ تَقَبَلَ مِنْهُمْ صِيَامَهُمْ فَمَا هَذَا فِعْلُ الشَّاكِرِيْنَ وَ إِنْ كَانَ لَمْ يَتَقَبَّلْ مِنْهُمْ صِيَامَهُمْ فَمَا هَذَا فِعْلُ الْخَائِفِيْنَ
“Apabila puasa mereka diterima di sisi Allah, apakah tindakan mereka tersebut adalah gambaran orang yang bersyukur kepada-Nya. Dan jika ternyata puasa mereka tidak diterima, apakah tindakan mereka itu adalah gambaran orang yang takut akan siksa-Nya.” (HR. Al Baihaqi dalam Asy Syu’ab nomor 3727, Lathaaiful Ma’arif hal. 232).
Ya Allah teguhkanlah kami di atas iman dan amal shalih, hidupkan kami dengan kehidupan yang baik dan sertakan diri kami bersama golongan orang-orang yang shalih.
GCA K4/7,29 Ramadlan 1429 H.
Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim
Artikel www.muslim.or.id
No comments:
Post a Comment